Sejarah dan Politik Zionisme
Zionisme’ berasal dari kata Ibrani “zion ” yang artinya karang. Maksudnya merujuk
kepada batu bangunan Haykal Sulaiman yang didirikan di atas sebuah bukit karang
bernama “Zion ”, terletak di sebelah barat-daya
Al-Quds (Jerusalem ).
Zionisme kini tidak lagi hanya memiliki makna keagamaan, tetapi kemudian telah
beralih kepada makna politik, yaitu suatu gerakan pulangnya ‘diaspora’
(terbuangnya) kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali bersatu
sebagai sebuah bangsa dengan Palestina sebagai tanah-air bangsa Yahudi dengan
Jerusalem sebagai ibukota negaranya. Istilah Zionisme dalam makna politik itu
dicetuskan oleh Nathan Bernbaum, dan ‘Zionisme Internasional’ yang pertama
berdiri di New York pada tanggal 1 Mei 1776, dua bulan sebelum kemerdekaan
Amerika-Serikat dideklarasikan di Philadelphia.
Gagasan itu mendapatkan dukungan dari Kaisar Napoleon Bonaparte ketika ia
merebut dan mendudui Mesir. Untuk memperoleh bantuan keuangan dari kaum Yahudi,
Napoleon pada tanggal 20 April 1799 mengambil hati dengan menyerukan, “Wahai
kaum Yahudi, mari membangun kembali kota Jerusalem lama”. Sejak itu
gerakan untuk kembali ke Jerusalem
menjadi marak dan meluas. Adalah Yahuda al-Kalai (1798-1878), tokoh Yahudi
pertama yang melemparkan gagasan untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di
Palestina. Gagasan itu didukung oleh Izvi Hirsch Kalischer (1795-1874) melalui
bukunya yang ditulis dalam bahasa Ibrani ‘Derishat Zion’ (1826), berisi studi
tentang kemungkinan mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina.
Buku itu disusul oleh tulisan Moses Hess dalam bahasa Jerman, berjudul ‘Roma
und Jerusalem ’
(1862), yang memuat pemikiran tentang solusi “masalah Yahudi” di Eropa dengan
cara mendorong migrasi orang Yahudi ke Palestina.
Perlu dicatat bahwa gerakan Zionisme mulai mendapatkan momentumnya berkat
bantuan dana keuangan tanpa reserve dari Mayer Amschel Rothschilds (1743-1812)
dari Frankfurt , pendiri dinasti Rothschilds,
keluarga Yahudi paling kaya di dunia.
Pendukung kuat dari kalangan politisi Eropa terhadap gerakan Zionisme datang
terutama dari Lloyd George (Perdana Menteri Inggris), Arthur Balfour (Menteri
luar negeri Inggris), Herbert Sidebotham (tokoh militer Inggris), Mark Sykes,
Alfred Milner, Ormsby-Gore, Robert Cecil, J.S.Smuts, dan Richard Meinerzhagen.
Gagasan tentang gerakan Zionisme, yaitu suatu gerakan politik untuk mendirikan
sebuah negara Yahudi di Palestina, mulai memperlihatkan konsepnya yang jelas
dalam buku ‘Der Judenstaat’ (1896) yang ditulis oleh seorang tokoh Yahudi, yang
kemudian dipandang sebagai Bapak Zionisme, Theodore Herzl (1860-1904). Ia salah
seorang tokoh besar Yahudi dan Bapak Pendiri Zionisme modern, barangkalai
eksponen filosuf tentang eksistensi bangsa Yahudi yang memiliki pandangan
paling jauh ke depan yang pernah dimiliki generasi Yahudi di sepanjang sejarah
mereka. Ia tidak pernah ragu akan adanya “bangsa Yahudi”. Ia menyatakan tentang
eksistensi itu pada setiap kesempatan yang ada.
Katanya. “Kami adalah suatu bangsa – Satu Bangsa”.
(Diambil dari buku Zionisme : Gerakan Menaklukkan
Dunia. Halaman 1-6).
Hibbat Zion (Bhs. Ibrani “Cinta Zion”) adalah ideologi dan
gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kebangkitan nasional bangsa Yahudi dan
mendirikan negara Palestina. Pada abad XIX gerakan ini berkembang pesat
terutama di kalangan masyarakat Yahudi Eropa Timur (Rusia, Polandia , Rumania ).
Pendukung Hibbat Zion bergabung dengan Organisasi Zionis setelah organisasi ini
didirikan oleh Theodore Herzl. Namun sebagian di antara mereka tetap
mempertahankan eksistensi formalnya sampai dengan pecahnya Perang Dunia I.
AKAR-AKAR HIBBATZION
Gerakan Hibbat Zion menggali sebagian besar ideologinya dari nilai-nilai dasar tradisi Yahudi : perasaan dikucilkan, kerinduan akan datangnya masa pembebasan dan ikatan emosional keagamaan dan spiritual dengan tanah Palestina. Namun sebagian besar kelompok masyarakat Yahudi di Eropa Timur jarang terlibat dalam kegiatan sosial dan politik yang terorganisasi, dan para pemimpin agama mereka – dengan sedikit pengecualian – menentang ide Zionis dengan alasan kedatangan sang “Juru Selamat” (Messiah) tidak boleh dilakukan dengan usaha-udaha manusiawi (dehikat hakez) dan jika hal itu dilakukan dengan keterlibatan manusia, maka berarti mengingkari jalan Tuhan.
Masalah kebangkitan nasional Yahudi dan terutama sekali masalah emigrasi ke Palestina sering didiskusikan oleh individu yang mendapat motivasi adanya visi mesianik atau karena terpengaruh oleh gerakan kebangkitan nasional di antara bangsa-bangsa Eropa.
AKAR-AKAR HIBBAT
Gerakan Hibbat Zion menggali sebagian besar ideologinya dari nilai-nilai dasar tradisi Yahudi : perasaan dikucilkan, kerinduan akan datangnya masa pembebasan dan ikatan emosional keagamaan dan spiritual dengan tanah Palestina. Namun sebagian besar kelompok masyarakat Yahudi di Eropa Timur jarang terlibat dalam kegiatan sosial dan politik yang terorganisasi, dan para pemimpin agama mereka – dengan sedikit pengecualian – menentang ide Zionis dengan alasan kedatangan sang “Juru Selamat” (Messiah) tidak boleh dilakukan dengan usaha-udaha manusiawi (dehikat hakez) dan jika hal itu dilakukan dengan keterlibatan manusia, maka berarti mengingkari jalan Tuhan.
Masalah kebangkitan nasional Yahudi dan terutama sekali masalah emigrasi ke Palestina sering didiskusikan oleh individu yang mendapat motivasi adanya visi mesianik atau karena terpengaruh oleh gerakan kebangkitan nasional di antara bangsa-bangsa Eropa.
Perdebatan terbuka mengenai masalah nasionalisme Yahudi muncul pada akhir tahun 1860an dengan menguatnya kembali gerakan pembaruan keagamaaan di Jerman dan Hungaria. Gerakan ini menghimbau dilakukannya asimilasi nasional dan kebudayaan bangsa Yahudi, serta diakhirinya kebiasaaan mengaitkan masalah
0 comments:
Post a Comment