Haatzaai
Artikelen:
Pedang
Damocles Pembunuh Demokrasi, Reformasi dan HAM
Latar Belakang
Belum lagi genap satu tahun masa
pemerintahan Megawati Soekarnoputri (selanjutnya disebut Rezim Megawati), ruang
tahanan mulai diisi kembali oleh tahanan-tahanan politik. Situasi ini sangat kontras dengan putusan pengadilan yang membebaskan para
koruptor penjarah uang negara, atau putusan pengadilan hak asasi manusia (HAM) ad
hoc yang menghukum ringan (bahkan membebaskan) para perwira militer yang
diindikasikan melanggar HAM.
Sebagian dari para tahanan politik
itu merupakan para mahasiswa dan pemuda yang melakukan unjuk-rasa menyusul
kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik (BBM/TDL) awal
Januari 2003, juga para aktivis organisasi non-pemerintah, atau tokoh
masyarakat di wilayah konflik yang menyampaikan pendapat dan pikirannya atas
situasi yang berkembang di wilayahnya.
Memang
sebagian dari antara mereka belum diadili. Tetapi beberapa yang diadili,
seperti misalnya tokoh Front Pembela Islam (FPI) Jafar Umar Thalib, tokoh Front
Kedaulatan Maluku (FKM) Alexander Hermanus Manuputty, serta aktivis Sentral
Informasi Referendum Aceh (SIRA) Muhammad Nazar sudah divonis. Yang
mengejutkan, mereka dikenakan pasal-pasal karet tentang apa yang dimaksudkan
dengan penyebaran rasa kebencian atau Haatzaai Artikelen. Haatzaai
Artikelen, yang di masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid mulai dikuburkan
itu, kini dibangkitkan kembali.
Tampaknya
pendulum kebebasan politik, kebebasan berekspresi, dan menyatakan pendapat
cepat bergeser. Saat ini, jerat untuk kasus-kasus politik kembali dipasang. Di
berbagai daerah – dari Aceh, Jakarta, hingga Papua – bisa ditemui kasus-kasus
politik yang berakhir dengan pemenjaraan. Kasusnya pun sangat beragam, dari
aksi teatrikal yang mencoret dan menginjak-injak gambar presiden/wakil
presiden, membakar boneka wayang berwajah presiden, menggelar aksi demonstrasi
tanpa izin, melanggar ketertiban umum, menghasut, melawan petugas, sampai
“hanya” mengibarkan bendera.
[1] Dalam seluruh artikel ini, penyebutan haatzaai
artikelen (misalnya seperti yang dipakai penulis untuk tabel 4 artikel ini)
tidak hanya dimaksudkan dengan pasal-pasal penyebar kebencian yang terdapat
pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tapi juga menyangkut semua produk
hukum yang terkait dengan kejahatan keamanan negara (misalnya Undang-undang dan
sebagainya) maupun pidana politik lainnya.
[2] Pedang Damocles diambil dari kisah
Damocles, penduduk Syracuse, Yunani, pada abad ke-4 Masehi saat diperintah oleh
tiran Dionysus. Pada suatu kesempatan Damocles diundang sang tiran untuk
menghadiri sebuah pesta yang diadakannya, kemudian Damocles memenggal kepala
Dionysius. Sedemikian tajamnya pedang tersebut, sehingga dikisahkan mampu
memotong setipis apapun rambut seorang manusia. Lihat Thomas E. Guinn, “The
Sword of Damocles”, di dalam http://www.csanews.net/
[3] Saat tulisan ini digarap, Presiden
Megawati Soekarnoputri belum genap satu tahun memerintah. Oleh karena itu data
yang digunakan didalam artikel ini berasal dari periode tersebut. Pada periode
itu banyak terjadi unjuk rasa menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak, dan
juga kerusuhan di daerah-daerah konflik. Hal ini bisa dimengerti, mengapa
pasal-pasal penyebar kebencian banyak digunakan penyidik kepolisian bagi para
terdakwa demonstrasi dan “penyulut” kerusuhan di daerah konflik. Semakin
berkurangnya intensitas demonstrasi pada tahun kedua dan tahun ketiga
pemerintahan Megawati, maka sebagai konsekuensi logisnya adalah semakin
berkurang pula penggunaan pasal-pasal penyebar kebencian oleh aparat penyidik
kepolisian.
Ancaman bagi
Demokrasi, Reformasi, dan Hak Asasi Manusia
Penerapan Haatzaai
Artikelen ini, bisa berimplikasi negatif bagi keberlangsungan reformasi, proses
demokratisasi, dan penegakan HAM di Indonesia. Lebih spesifik, bahwa praksis
penerapannya, secara substansial, bisa melanggar hak-hak sipil dan politik
warganegara sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi
Manusia (DUHAM), dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International
Covenan on Civil and Polirtical Rights/ICCPR). Bahkan, dalam hubungannya
atau kaitannya dengan penghargaan dan penghormatan atas HAM sebagaimana
tercantum pada konstitusi negara, yaitu Amandemen Kedua UUD 1945 Bab XA Pasal
28A hingga 28J.
Bagaimanakah
bisa dijelaskan karakter-karakter ancaman itu pada ketiga aspek: kehidupan
demokrasi di suatu negara, keberlangsungan reformasi dan penegakan HAM
khususnya?
Seperti
diketahui Haatzaai Artikelen ini memiliki beberapa sifat atau watak
“karet”. Berbeda dengan azas yang dianut pada hukum pidana yang limitatif, maka
Haatzaai Artikelen ini menganut azas non-limitatif. Hukum Pidana
mempersyaratkan batasan-batasan yang jelas secara formal-material atas tuduhan
tindak pidana yang dilakukan seseorang, yang justru tidak dipenuhi oleh
pasal-pasal Haatzaai Artikelen.
Yang
lainnya lagi, bahwa Haatzaai Artikelen ini berangkat dari presumtion
of guilty, bukan presumtion of innocence sebagaimana dikenal pada
proses hukum acara pidana. Dua aspek ini – presumtion of guilty dan azas
non-limitatif – jelas menjadi celah atau ruang untuk membuka peluang terjadinya
praktik pelanggaran HAM, terutama atas pengakuan hak-hak sipil dan politik
warganegara.
Secara
umum, para human rights scholar dan human rights defender/activist
mengelompokkan atau mengklasifikasikan hak-hak sipil dan politik tersebut atas
tiga kebebasan dasar, yaitu kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, dan
kebebasan berkumpul. Dan, hukum hak asasi manusia internasional (termasuk
ICCPR) memperbolehkan pembatasan atas kebebasan-kebebasan dasar hanya pada
“saat keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa, dan yang
keberadaannya dinyatakan secara resmi.” Pembatasan ini hanya diberlakukan,
“sejauh hal itu dibutuhkan sekali oleh urgensi situasi.”
Lagi
pula tentang pembatasan ini, sebagaimana dicermati pada berbagai pertemuan
Komite Hak Asasi Manusia PBB maka kebebasan berpendapat dapat dilakukan pembatasan, “tetetetapi hanya
sebatas sebagaimana ditentukan undang-undang, dan sejauh untuk melindungi
keamanan nasional, ketertiban publik, kesehatan, atau moral masyarakat.”
Sementara itu, untuk kebebasan berserikat dan berkumpul dapat dibatasi atas
semua aspek di atas, maupun demi kepentingan melindungi hak-hak dan kebebasan
orang lain. Tetetapi, pembatasan itu harus dicantumkan dalam undang-undang, dan
hanya “sejauh diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis.”
Walaupun
demikian kovenan memiliki suatu pembedaan yang jelas, dan tegas antara
kebebasan berpendapat dengan kebebasan berekspresi. Hal ini menjadi penting
untuk diungkapkan, karena argumentasi yang dihasilkannya akan berimplikasi,
mengapa Haatzaai Artikelen itu dapat membuka celah dan ruang bagi
kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM.
Jika
hak atas kebebasan berpendapat merupakan hal yang bersifat pribadi dan absolut,
tanpa membuka celah untuk paksaan apa pun, sementara kebebasan berekspresi,
merupakan hal yang bersifat umum dalam tingkat kepentingan sosial, serta
memiliki batasan-batasan yang alami. Pokoknya, ekspresi tersebut dapat menjadi
subjek dari larangan-larangan, tetetetapi hanya dalam kerangka prinsip
legalitas, yaitu larangan atas kebebasan berekspresi harus diatur dengan
undang-undang, memiliki kadar urgensi, juga karena disebabkan untuk tujuan-tujuan
umum tertentu dan spesifik.
Jadi,
kebebasan berekspresi ini sebagaimana Paragraf 3 dari Pasal 19 ICCPR mengandung
klausul pembatasan, bahwa penerapan dari hak-hak yang diatur dalam paragraf 2
Pasal 19 juga disertai tugas dan tanggung-jawab khusus. Selengkapnya bunyi
paragraf 3 Kovenan sebagai berikut:
“Pelaksanaan hak yang dicantumkan dalam ayat 2 Pasal ini
menimbulkan kewajiban-kewajiban dan tanggung-jawab khusus. Oleh karenanya dapat
dikenai pembatasan-pembatasan tertentu, tetetetapi hal ini hanya dapat
dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk:
a.
menghormati hak dan nama baik
orang lain;
b.
melindungi keamanan nasional dan
ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum”
Bersambung
0 comments:
Post a Comment