Isu untuk memindahkan pusat pemerintahan Indonesia dari Jakarta ke kota lain bukanlah hal yang baru. Pada 1916 saat Jakarta masih bernama Batavia, pemerintah Hindia Belanda sudah memutuskan untuk memindahkan ibu kota pemerintahannya ke Bandung.
Banyak alasan dan pertimbangan kenapa pusat pemerintahan akan dipindahkan ke Bandung. Keputusan itu telah diambil Negeri Belanda setelah melalui berbagai penelitian dan kajian.
Salah satu yang memicu perpindahan itu adalah penelitian yang dilakukan oleh HF Tillema, seorang penilik kesehatan lingkungan dan apoteker yang tinggal di Semarang. Dalam laporannya Tillema menyimpulkan kota-kota pelabuhan di pantai Jawa adalah kawasan yang tidak sehat.
Hal itu dipengaruhi oleh banyaknya rawa yang menyebabkan kerentanan terhadap penyakit. Selain itu, kota-kota pelabuhan di Pantai Jawa juga memiliki hawa yang panas dan lembab. Akibatnya penghuninya mudah berkeringat, susah bernapas, dan membuat badan cepat lelah.
Penelitian Tillema itu juga memuat Batavia juga memiliki kecenderungan itu, tanpa kecuali. Tillema menyebutkan Batavia saat itu sudah tidak layak dan tidak memenuhi persyaratan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda. Maka tidak mengherankan dalam rekomendasinya, Tillema mengusulkan Bandung menjadi kota pilihan untuk menggantikan Batavia.
Itulah cuplikan kecil tentang Bandung dari buku kanon: Wajah Bandung Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto. Buku itu terbit kali pertama pada 1984. Salah satu buku penting tentang sejarah Bandung.
Pilihan Bandung menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu, karena dipengaruhi karena iklimnya yang lebih sejuk dari Batavia. Selain itu, pilihan Bandung juga dipengaruhi karena bentuk topografinya yang berbentuk cekungan dengan daratan yang luas di bagian tengah dan dikelilingi oleh pegunungan dan perbukitan.
Kondisi perang dunia saat itu lebih banyak menentukan lokasi pusat pemerintahan dari sisi strategi militer. Dengan adanya pegunungan dan perbukitan yang terjal sudah bisa dijadikan menjadi benteng alam untuk berlindung dari serangan musuh. Belum lagi lokasi Bandung yang jaraknya tidak begitu jauh dari Batavia.
Setelah mendapat persetujuan dari berbagai pihak, mulailah dibangun gedung-gedung yang dipersiapkan untuk pemerintahan dan kamp-kamp untuk pertahanan militer. Salah satunya pada 20 Juli 1920 dengan dilakukannya peletakan batu pertama Gedung Sate, salah satu gedung termegah di Hindia Belanda saat itu.
Selain pembangunan gedung-gedung. Pemerintah Kolonial Belanda juga mulai melakukan pemindahan kantor-kantor pusat pemerintahan lainnya. Seperti Jawatan Kereta Api Negara, Jawatan Geologi, Jawatan Metrologi, Departement van Geouvernements Bedrijven atau Departemen Pekerjaan Umum dan Pengairan.
Kunto juga mengisahkan dalam bukunya, setelah Gedung sate selesai dibangun, Departemen Pekerjaan Umum dan Pengairan adalah salah satu instansi pemerintah yang berkantor di Gedung Sate.
Bandung saat itu memang benar-benar dipersiapkan fasilitasnya untuk benar-benar menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Untuk strategi pertahanan militer juga sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Kunto juga menyebut pada 1918 Belanda memindahkan pabrik mesiu yang berada di Ngawi dan pabrik senjata di Surabaya ikut dipindahkan ke kawasan Cimahi, Bandung. Bahkan hampir setengah kekuatan militer dan komando militer untuk operasi tempur di pusatkan di Cimahi.
Sedangkan untuk pusat penerbangan mengambil lokasi di sebelah barat Kota bandung, yakni Kampung Andir atau sekarang dikenal dengan Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara. Peresmian penggunaan lapangan penerbangan Andir dimulai pada akhir Oktober 1925. Kunto juga mencatat, rute penerbangan Bandung yang mulanya memiliki rute dari Bandung ke Batavia dan Semarang. Selanjutnya merambah rute Bandung ke Surabaya, Palembang, Singapura, hingga Belanda.
Setelah semua fasilitas kebutuhan pusat pemerintahan dan militer Hindia Belanda di bandung yang selesai hingga 1940-an. Belum ada data dan arsip pasti akan kepindahan ibu kota pemerintahan Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Menurut sejarawan Asvi Marwan Adam, mungkin saja segala persiapan itu untuk memindahkan ibu kota Hindia Belanda ke Bandung dengan segala fasilitas yang dibangun Belanda. "Namun yang pasti, di Cimahi adalah pusat pelatihan militer saat itu, para lulusannya adalah TB. Simatupang, Alex Kawilarang, Nasution, dan yang lainnya," kata Asvi kepada merdeka.com pada Jumat (25/1) malam.