Pemberantasan Pungli Terkesan Pencitraan dan Hanya Birokrasi Menengah Kebawah,

Tuesday, January 22, 2013

Sejarah dan Politik Zionisme


Sejarah  dan Politik Zionisme

Zionisme’ berasal dari kata Ibrani “zion” yang artinya karang. Maksudnya merujuk kepada batu bangunan Haykal Sulaiman yang didirikan di atas sebuah bukit karang bernama “Zion”, terletak di sebelah barat-daya Al-Quds (Jerusalem). 

Zionisme kini tidak lagi hanya memiliki makna keagamaan, tetapi kemudian telah beralih kepada makna politik, yaitu suatu gerakan pulangnya ‘diaspora’ (terbuangnya) kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali bersatu sebagai sebuah bangsa dengan Palestina sebagai tanah-air bangsa Yahudi dengan Jerusalem sebagai ibukota negaranya. Istilah Zionisme dalam makna politik itu dicetuskan oleh Nathan Bernbaum, dan ‘Zionisme Internasional’ yang pertama berdiri di New York pada tanggal 1 Mei 1776, dua bulan sebelum kemerdekaan Amerika-Serikat dideklarasikan di Philadelphia.
Gagasan itu mendapatkan dukungan dari Kaisar Napoleon Bonaparte ketika ia merebut dan mendudui Mesir. Untuk memperoleh bantuan keuangan dari kaum Yahudi, Napoleon pada tanggal 20 April 1799 mengambil hati dengan menyerukan, “Wahai kaum Yahudi, mari membangun kembali kota Jerusalem lama”. Sejak itu gerakan untuk kembali ke Jerusalem menjadi marak dan meluas. Adalah Yahuda al-Kalai (1798-1878), tokoh Yahudi pertama yang melemparkan gagasan untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina. Gagasan itu didukung oleh Izvi Hirsch Kalischer (1795-1874) melalui bukunya yang ditulis dalam bahasa Ibrani ‘Derishat Zion’ (1826), berisi studi tentang kemungkinan mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina.

Buku itu disusul oleh tulisan Moses Hess dalam bahasa Jerman, berjudul ‘Roma und Jerusalem’ (1862), yang memuat pemikiran tentang solusi “masalah Yahudi” di Eropa dengan cara mendorong migrasi orang Yahudi ke Palestina. 

Perlu dicatat bahwa gerakan Zionisme mulai mendapatkan momentumnya berkat bantuan dana keuangan tanpa reserve dari Mayer Amschel Rothschilds (1743-1812) dari Frankfurt, pendiri dinasti Rothschilds, keluarga Yahudi paling kaya di dunia.

Pendukung kuat dari kalangan politisi Eropa terhadap gerakan Zionisme datang terutama dari Lloyd George (Perdana Menteri Inggris), Arthur Balfour (Menteri luar negeri Inggris), Herbert Sidebotham (tokoh militer Inggris), Mark Sykes, Alfred Milner, Ormsby-Gore, Robert Cecil, J.S.Smuts, dan Richard Meinerzhagen.

Gagasan tentang gerakan Zionisme, yaitu suatu gerakan politik untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina, mulai memperlihatkan konsepnya yang jelas dalam buku ‘Der Judenstaat’ (1896) yang ditulis oleh seorang tokoh Yahudi, yang kemudian dipandang sebagai Bapak Zionisme, Theodore Herzl (1860-1904). Ia salah seorang tokoh besar Yahudi dan Bapak Pendiri Zionisme modern, barangkalai eksponen filosuf tentang eksistensi bangsa Yahudi yang memiliki pandangan paling jauh ke depan yang pernah dimiliki generasi Yahudi di sepanjang sejarah mereka. Ia tidak pernah ragu akan adanya “bangsa Yahudi”. Ia menyatakan tentang eksistensi itu pada setiap kesempatan yang ada. 
Katanya. “Kami adalah suatu bangsa – Satu Bangsa”.

(Diambil dari buku Zionisme : Gerakan Menaklukkan Dunia. Halaman 1-6).

Hibbat Zion (Bhs. Ibrani “Cinta Zion”) adalah ideologi dan gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kebangkitan nasional bangsa Yahudi dan mendirikan negara Palestina. Pada abad XIX gerakan ini berkembang pesat terutama di kalangan masyarakat Yahudi Eropa Timur (Rusia, Polandia, Rumania). Pendukung Hibbat Zion bergabung dengan Organisasi Zionis setelah organisasi ini didirikan oleh Theodore Herzl. Namun sebagian di antara mereka tetap mempertahankan eksistensi formalnya sampai dengan pecahnya Perang Dunia I.

AKAR-AKAR HIBBAT ZION

Gerakan Hibbat Zion menggali sebagian besar ideologinya dari nilai-nilai dasar tradisi Yahudi : perasaan dikucilkan, kerinduan akan datangnya masa pembebasan dan ikatan emosional keagamaan dan spiritual dengan tanah Palestina. Namun sebagian besar kelompok masyarakat Yahudi di Eropa Timur jarang terlibat dalam kegiatan sosial dan politik yang terorganisasi, dan para pemimpin agama mereka – dengan sedikit pengecualian – menentang ide Zionis dengan alasan kedatangan sang “Juru Selamat” (Messiah) tidak boleh dilakukan dengan usaha-udaha manusiawi (dehikat hakez) dan jika hal itu dilakukan dengan keterlibatan manusia, maka berarti mengingkari jalan Tuhan.

Masalah kebangkitan nasional Yahudi dan terutama sekali masalah emigrasi ke Palestina sering didiskusikan oleh individu yang mendapat motivasi adanya visi mesianik atau karena terpengaruh oleh gerakan kebangkitan nasional di antara bangsa-bangsa Eropa.

Zevi Kalischer dan Judah Alkalai telah mempromosikan gagasan untuk bermukim di Palestina antara tahun 1840an dan 1850an. Kalischer malahan sudah melakukan konsultasi dengan sejumlah Rabbi dan wakil-wakil masyarakat Yahudi di Jerman di tahun 1860 dalam rangka mencari dukungan untuk mewujudkan gagasannya itu. Tidak lama setelah pertemuan tersebut, Chaim Lorje dari Frankfurt mendirikan sebuah perusahaan Yahudi dengan tujuan mendirikan pemukiman di Tanah Suci al-Quds (Yerusalem). Namun baik propaganda maupun kegiatan yang dilakukannya ini tidak mempunyai pengaruh berarti di kalangan masyarakat. Sedikit perhatian yang diperolehnya sama seperti yang diberikan kepada novel karya Moses Hess “Roma and Jerusalem” serta artikel David Gordon “Ha Maggid” yang pada intinya mendukung upaya terwujudnya pemukiman Yahudi di Palestina. Ketika gerakan Hibbat Zion didirikan, sector agamanya dipengaruhi oleh gagasan zionis dan apa yang dilakukan oleh Alkalai dan Kalischer.

Perdebatan terbuka mengenai masalah nasionalisme Yahudi muncul pada akhir tahun 1860an dengan menguatnya kembali gerakan pembaruan keagamaaan di Jerman dan Hungaria. Gerakan ini menghimbau dilakukannya asimilasi nasional dan kebudayaan bangsa Yahudi, serta diakhirinya kebiasaaan mengaitkan masalah Zion dan Jerusalem dari buku doa, dan mendasarkan agama Yahudi pada “kebenaran abadinya” saja.




0 comments:

Post a Comment