Pemberantasan Pungli Terkesan Pencitraan dan Hanya Birokrasi Menengah Kebawah,

Thursday, January 24, 2013

Pedang Damocles Pembunuh Demokrasi, Reformasi dan HAM


Haatzaai Artikelen:
Pedang Damocles Pembunuh Demokrasi, Reformasi dan HAM

Togi Simanjuntak


Latar Belakang

Belum lagi genap satu tahun masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri (selanjutnya disebut Rezim Megawati), ruang tahanan mulai diisi kembali oleh tahanan-tahanan politik. Situasi ini sangat kontras dengan putusan pengadilan yang membebaskan para koruptor penjarah uang negara, atau putusan pengadilan hak asasi manusia (HAM) ad hoc yang menghukum ringan (bahkan membebaskan) para perwira militer yang diindikasikan melanggar HAM.
Sebagian dari para tahanan politik itu merupakan para mahasiswa dan pemuda yang melakukan unjuk-rasa menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik (BBM/TDL) awal Januari 2003, juga para aktivis organisasi non-pemerintah, atau tokoh masyarakat di wilayah konflik yang menyampaikan pendapat dan pikirannya atas situasi yang berkembang di wilayahnya.
Memang sebagian dari antara mereka belum diadili. Tetapi beberapa yang diadili, seperti misalnya tokoh Front Pembela Islam (FPI) Jafar Umar Thalib, tokoh Front Kedaulatan Maluku (FKM) Alexander Hermanus Manuputty, serta aktivis Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) Muhammad Nazar sudah divonis. Yang mengejutkan, mereka dikenakan pasal-pasal karet tentang apa yang dimaksudkan dengan penyebaran rasa kebencian atau Haatzaai Artikelen. Haatzaai Artikelen, yang di masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid mulai dikuburkan itu, kini dibangkitkan kembali.
Tampaknya pendulum kebebasan politik, kebebasan berekspresi, dan menyatakan pendapat cepat bergeser. Saat ini, jerat untuk kasus-kasus politik kembali dipasang. Di berbagai daerah – dari Aceh, Jakarta, hingga Papua – bisa ditemui kasus-kasus politik yang berakhir dengan pemenjaraan. Kasusnya pun sangat beragam, dari aksi teatrikal yang mencoret dan menginjak-injak gambar presiden/wakil presiden, membakar boneka wayang berwajah presiden, menggelar aksi demonstrasi tanpa izin, melanggar ketertiban umum, menghasut, melawan petugas, sampai “hanya” mengibarkan bendera.



[1] Dalam seluruh artikel ini, penyebutan haatzaai artikelen (misalnya seperti yang dipakai penulis untuk tabel 4 artikel ini) tidak hanya dimaksudkan dengan pasal-pasal penyebar kebencian yang terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tapi juga menyangkut semua produk hukum yang terkait dengan kejahatan keamanan negara (misalnya Undang-undang dan sebagainya) maupun pidana politik lainnya.
[2] Pedang Damocles diambil dari kisah Damocles, penduduk Syracuse, Yunani, pada abad ke-4 Masehi saat diperintah oleh tiran Dionysus. Pada suatu kesempatan Damocles diundang sang tiran untuk menghadiri sebuah pesta yang diadakannya, kemudian Damocles memenggal kepala Dionysius. Sedemikian tajamnya pedang tersebut, sehingga dikisahkan mampu memotong setipis apapun rambut seorang manusia. Lihat Thomas E. Guinn, “The Sword of Damocles”, di dalam http://www.csanews.net/
[3] Saat tulisan ini digarap, Presiden Megawati Soekarnoputri belum genap satu tahun memerintah. Oleh karena itu data yang digunakan didalam artikel ini berasal dari periode tersebut. Pada periode itu banyak terjadi unjuk rasa menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak, dan juga kerusuhan di daerah-daerah konflik. Hal ini bisa dimengerti, mengapa pasal-pasal penyebar kebencian banyak digunakan penyidik kepolisian bagi para terdakwa demonstrasi dan “penyulut” kerusuhan di daerah konflik. Semakin berkurangnya intensitas demonstrasi pada tahun kedua dan tahun ketiga pemerintahan Megawati, maka sebagai konsekuensi logisnya adalah semakin berkurang pula penggunaan pasal-pasal penyebar kebencian oleh aparat penyidik kepolisian.


Ancaman bagi Demokrasi, Reformasi, dan Hak Asasi Manusia

Penerapan Haatzaai Artikelen ini, bisa berimplikasi negatif bagi keberlangsungan reformasi, proses demokratisasi, dan penegakan HAM di Indonesia. Lebih spesifik, bahwa praksis penerapannya, secara substansial, bisa melanggar hak-hak sipil dan politik warganegara sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Polirtical Rights/ICCPR). Bahkan, dalam hubungannya atau kaitannya dengan penghargaan dan penghormatan atas HAM sebagaimana tercantum pada konstitusi negara, yaitu Amandemen Kedua UUD 1945 Bab XA Pasal 28A hingga 28J.
Bagaimanakah bisa dijelaskan karakter-karakter ancaman itu pada ketiga aspek: kehidupan demokrasi di suatu negara, keberlangsungan reformasi dan penegakan HAM khususnya?
Seperti diketahui Haatzaai Artikelen ini memiliki beberapa sifat atau watak “karet”. Berbeda dengan azas yang dianut pada hukum pidana yang limitatif, maka Haatzaai Artikelen ini menganut azas non-limitatif. Hukum Pidana mempersyaratkan batasan-batasan yang jelas secara formal-material atas tuduhan tindak pidana yang dilakukan seseorang, yang justru tidak dipenuhi oleh pasal-pasal Haatzaai Artikelen.
Yang lainnya lagi, bahwa Haatzaai Artikelen ini berangkat dari presumtion of guilty, bukan presumtion of innocence sebagaimana dikenal pada proses hukum acara pidana. Dua aspek ini – presumtion of guilty dan azas non-limitatif – jelas menjadi celah atau ruang untuk membuka peluang terjadinya praktik pelanggaran HAM, terutama atas pengakuan hak-hak sipil dan politik warganegara.
Secara umum, para human rights scholar dan human rights defender/activist mengelompokkan atau mengklasifikasikan hak-hak sipil dan politik tersebut atas tiga kebebasan dasar, yaitu kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan berkumpul. Dan, hukum hak asasi manusia internasional (termasuk ICCPR) memperbolehkan pembatasan atas kebebasan-kebebasan dasar hanya pada “saat keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa, dan yang keberadaannya dinyatakan secara resmi.” Pembatasan ini hanya diberlakukan, “sejauh hal itu dibutuhkan sekali oleh urgensi situasi.”


Lagi pula tentang pembatasan ini, sebagaimana dicermati pada berbagai pertemuan Komite Hak Asasi Manusia PBB maka kebebasan berpendapat dapat dilakukan pembatasan, “tetetetapi hanya sebatas sebagaimana ditentukan undang-undang, dan sejauh untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban publik, kesehatan, atau moral masyarakat.” Sementara itu, untuk kebebasan berserikat dan berkumpul dapat dibatasi atas semua aspek di atas, maupun demi kepentingan melindungi hak-hak dan kebebasan orang lain. Tetetapi, pembatasan itu harus dicantumkan dalam undang-undang, dan hanya “sejauh diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis.”
Walaupun demikian kovenan memiliki suatu pembedaan yang jelas, dan tegas antara kebebasan berpendapat dengan kebebasan berekspresi. Hal ini menjadi penting untuk diungkapkan, karena argumentasi yang dihasilkannya akan berimplikasi, mengapa Haatzaai Artikelen itu dapat membuka celah dan ruang bagi kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM.
Jika hak atas kebebasan berpendapat merupakan hal yang bersifat pribadi dan absolut, tanpa membuka celah untuk paksaan apa pun, sementara kebebasan berekspresi, merupakan hal yang bersifat umum dalam tingkat kepentingan sosial, serta memiliki batasan-batasan yang alami. Pokoknya, ekspresi tersebut dapat menjadi subjek dari larangan-larangan, tetetetapi hanya dalam kerangka prinsip legalitas, yaitu larangan atas kebebasan berekspresi harus diatur dengan undang-undang, memiliki kadar urgensi, juga karena disebabkan untuk tujuan-tujuan umum tertentu dan spesifik.
Jadi, kebebasan berekspresi ini sebagaimana Paragraf 3 dari Pasal 19 ICCPR mengandung klausul pembatasan, bahwa penerapan dari hak-hak yang diatur dalam paragraf 2 Pasal 19 juga disertai tugas dan tanggung-jawab khusus. Selengkapnya bunyi paragraf 3 Kovenan sebagai berikut:

“Pelaksanaan hak yang dicantumkan dalam ayat 2 Pasal ini menimbulkan kewajiban-kewajiban dan tanggung-jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan-pembatasan tertentu, tetetetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk:
a.       menghormati hak dan nama baik orang lain;
b.      melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum”

Bersambung 



0 comments:

Post a Comment