Pemberantasan Pungli Terkesan Pencitraan dan Hanya Birokrasi Menengah Kebawah,

Tuesday, January 22, 2013

Koruptor NKRI BAGAI VIRUS






SOLUSI KLB PER-KORUPSI-AN DI INDONESIA

Oleh :
Prof. Dr. H. Siswoyo Haryono, MM, MPd.)

Dampak Buruk
Telah banyak usaha yang dilakukan untuk memberangus korupsi, namun sampai saat ini hasilnya masih tetap belum sesuai dengan yang harapan masyarakat. Melihat kenyataan betapa sulitnya usaha pemberantasan korupsi, sebenarnya wajar saja jika sampai timbul public judgement bahwa korupsi adalah manisfestasi budaya bangsa. Ibarat wabah demam berdarah dengou (DBD), korupsi kini telah memasuki arena Kejadian Luar Biasa (KLB). Salah satu akibat buruk dari perilaku korup yang kini  semakin membudaya di Indonesia adalah kerugian keuangan negara. Selama tiga tahun terakhir terdapat trend kenaikan kerugian keuangan negara yang menurut catatan akhir tahun Indonesian Corruption Watch (24/1/07) pada tahun 2004 mencapai Rp. 4,3 triliun, tahun 2005 mencapai Rp 5,3 triliun dan tahun 2006 meningkat tiga kali lipat menjadi Rp 14,4 triliun.
Begitu kronisnya penyakit korupsi di Indonesia  digambarkan oleh Prof. Dr. H. Syafe'i Ma'arif, akibat korupsi yang semakin merajalela kini bangsa Indonesia dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Departemen Agama RI yang seharusnya mengurusi pembangunan mental (hati) bangsa adalah salah satu departemen terkorup di negeri ini. Kemudian Departemen Pendidikan RI yang seharusnya mengurusi usaha mencerdaskan bangsa (otak) juga merupakan salah satu departemen terkorup. Demikian juga Departemen Kesehatan RI  yang seharusnya mengurusi kesehatan secara fisik bangsa Indonesia juga salah satu Departemen Terkorup di negeri ini. "Lalu apa yang tersisa? ", tanya Ma'arif.
Lebih jauh Deny Indrayana, SH, LLM, Ph.D, ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM mengemukakan kemudlaratan korupsi telah sukses  merambah seluruh aspek kehidupan sosial diantaranya ; mahalnya biaya pendidikan,   kesehatan, minimnya fasilitas umum, minimnya fasilitas militer, penegakan hukum yang "memble", minimnya lapangan kerja, dana bantuan di-"sunat", ekonomi biaya tinggi, BBM mahal, dan banyaknya biaya-biaya yang tidak jelas (invisble cost).

Faktor Penyebab dan Budaya Korupsi  
  Banyak indikasi yang menyebutkan bahwa faktor daya dorong (driving force) terhadap mem-batu-nya budaya korupsi selalu berhubungan dengan usaha pemuasan fasilitas kehidupan yang hedonistik, yaitu  usaha pemenuhan kepuasan nafsu terhadap harta, tahta dan wanita, disebut "tiga-ta". Terbentuknya perilaku korupsi (corruption behavior) dapat dijelaskan dengan teori psikoanalisis dari Sigmun Freud. Apabila keinginan dasar manusia yang begitu liar (wild) terhadap "tiga-ta" sebagai bentuk daya dorong terlalu kuat disebut "id" dan tidak terkendali oleh "ego", maka dalam diri manusia muncul "super ego" berupa perilaku korupsi yang tidak terkendali. Budaya korupsi adalah hasil akumulatif "super ego" dalam  pemenuhan hedonistik yang tidak wajar, berlebihan serta tidak terkendali.
Statement yang sering terdengar adalah korupsi telah mendarah daging, mengakar dan membudaya di republik tercinta ini. Repotnya adalah jika ada urusan yang berkaitan dengan birokrasi, saat ini orang menjadi lazim untuk memberi "sesuatu".. Padahal instansi tersebut benar=benar tidak meminta  "sesuatu". Karena
perilaku korupsi sudah menjadi "budaya", orang atau instansi yang mencoba untuk "bersih" justru dianggap aneh. . Salah kaprah ini juga dapat menjadi daya dorong terjadinya korupsi. Pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah "Apakah benar korupsi telah membudaya di negeri ini?". Meminjam istilah Edgard H. Schein, bahwa "budaya" didefinisikan sebagai : "    “A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problem of external adaptation and internal integration, that have worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and  feel in relations to this problems”. Pada intinya, budaya adalah asumsi dasar yang diketahui secara bersama-sama dan dianggap benar secara internal maupun eksternal sehingga perlu diteruskan kepada anggota masyarakat baru atau generasi berikutnya.
            Melihat batasan budaya tersebut, perilaku korupsi di Indonesia dapat dikatakan sebagai telah "membudaya". Secara umum banyak perilaku korupsi yang sudah diasumsikan secara bersama-sama "benar" dan "lazim". Jika tidak mengikuti arus perilaku korupsi, bahkan kita dianggap "naif" dan tidak wajar atau aneh. Lebih sadis lagi kita dapat dianggap ketinggalan jaman dan tidak modern.Gila bener!  

Kilas-balik : Sejarah Korupsi di Indonesia
Perilaku dan sifat korup manusia Indonesia telah dikenal sejak jaman dahulu sampai sekarang dan akan terus berlanjut entah sampai kapan.  Periodisasi korupsi di Indonesia secara umum dapat dibagi dua, yaitu periode pra dan pasca kemerdekaan.
            Periode Pra-kemerdekaan. Dari beberapa catatan sejarah, kehancuran kerajaan-kerajaan besar di Indonesia disebabkan perilaku korup sebagian besar tokoh elite (pentholan) bangsa pada saat itu. Sebut saja Sriwijaya yang hancur karena tidak ada penerus setelah mangkatnya raja Bala Putra Dewa dan Majapahit hancur karena perang saudara (paregreg)  setelah mangkatnya Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan kerajaan Mataram di Jawa Tengah, "loyo" dan semakin melemah karena ditekan dengan politik pecah belah serta adanya perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang membelah dua wilayah Mataram menjadi kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Fokus penelitian sejarah kebanyakan bercerita pada aspek politik, bukan ekonomi seperti usaha memperkaya diri sendiri dan kerabat kaum bangsawan sehingga merugikan keuangan negara.
 Masa penjajahan Belanda yang berlangsung 350 tahun juga ikut andil dalam membentuk budaya korupsi. Buku History of Java karya Rafles (1816) menyebutkan karakter orang jawa sangat "nrimo" atau pasrah pada keadaan, namun memiliki keinginan untuk dihargai orang lain, tidak terus terang, menyembunyikan persoalan dan oportunis. Bangsawan Jawa gemar menumpuk harta, memelihara abdi dalem untuk kepuasan karena diharapkan memberi sanjungan. Budaya Jawa yang demikian akhirnya menimbulkan budaya korup. Bahkan pegawai VOC yang bergaji relatif kecil pada saat itu juga menyebabkan suburnya budaya korupsi. Pada tahun 1799 asosiasi dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)   dipelsetkan menjadi Verhaan Onder Corruptie, runtuh lantaran korupsi. 
            Periode Pasca- kemerdekaan. Pada masa kepemimpinan Soekarno, korupsi tetap merajalela meskipun negara RI baru terbentuk dan belum stabil. Pada masa tersebut ada dua badan dibentuk untuk pemberantasan korupsi; PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budhi. Paran mengalami kebuntuan, karena semua pejabat tinggi berlindung di ketiak presiden. Kemudian tahun 1963 dikeluarkan Kepres no. 275  tahun 1963 dikenal dengan nama Operasi Budhi (OB). Dalam waktu 3 bulan OB berhasil menyelamatkan uang negara sebesar  Rp. 11 miliar, untuk ukuran waktu itu begitu fantastis. Operasi ini pun akhirnya gagal, karena dianggap nyerempet-nyerempet presiden. Misalnya untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina minta ijin kepada presiden untuk ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan alasan belum ada ijin atasan.  
            Pada masa Orde Baru, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) sebagai tindak lanjut pidato Pj Presiden Soeharto di depan DPR/MPR 16 Agustus 1967. karena selalu gagal, bagaikan macan ompong maka dibentuk Opstib (Operasi tertib) yang dikomandani oleh Soedomo. Namun seperti biasanya, Opstib juga hilang ditelan bumi tanpa bekas sama sekali.
            Pada masa reformasi, berbagai lembaga telah dibentuk untuk memberantas korupsi. Korupsi yang pada jaman orde baru hanya melingkar di pusat kalangan elit kekuasaan, dengan adanya desentralisasi maka semua lini pemerintahan terjangkit virus korupsi. Skala korupsi menjalar ke setiap sendi-sendi kehidupan bangsa. Usaha pemberantasan korupsi dilakukan mulai dari jaman presiden B.J. Habibie, Gudur, Megawati dan SBY. Berbagai peraturan dan badan atau lembaga dibentuk, diantaranya : Komisi Penyelidik Kekakayaan penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Ombudsmen, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Dari semua lembaga tersebut, hasilnya tetap ajeg, tidak berubah. Intinya keseriusan pemerintah masih patut dipertanyakan. Tampak secara terang dan jelas, pemerintah selalu bermain-main dengan cara melindungi para konglomerat dan orang-orang kuat yang oleh Deny Indrayana disebut epicentrum korupsi, yaitu : istana, cendana, senjata, dan pengusaha naga.     
           
Perkembangan Terakhir : Indeks Korupsi Indonesia.
            Transparency International kembali me-release Corruption Perception Index (CPI) untuk tahun 2006 yaitu 2,4 meningkat dari 2,2 tahun sebelumnya. Standar minimal dianggap tidak korup adalah 3,5. Perkembangan dari tahun sebelumnya; 1999 dan 2000 adalah 1,7,  tahun 2001 dan 2002 adalah 1,9, tahun 2003 adalah 2,0, tahun 2004 dan 2005 adalah 2,2 dan tahun 2006 adalah 2,4. Kondisi ini mendongkrak peringkat Indonesia menjadi urutan ke-7 (dari 163 negara) dari tahun sebelumnya. Tahun 2005 peringkat 6 (dari 159 negara).   

Institusi Publik.
            Menarik untuk diketahui institusi publik mana saja yang paling honest (jujur)  dan very corrupt (sangat korup) berdasarkan penelitian dari PUKAT Korupsi FH UGM, dengan nilai integritas 1 = very corrupt dan 5 = very honest  dihasilkan peringkat berikut : polisi lalu lintas (3,0), partai politik (3,0), jaksa/hakim (3,1), polisi bukan lalu lintas (3,3), bea cukai (3,4), pajak (3,4), tentara (3,7), Depdiknas/Depkes (3,8), media (3,9), telkom (4,1), kantor pos (4,2), pengurus masjid, gereja, pura (4,6).     

Tawaran Solusi 
            Mengingat fenomena perkorupsian di Indonesia kini telah memasuki zone Kejadian Luar Biasa (KLB), maka pendekatan pemberantasan korupsi juga harus dipilih cara-cara yang luar biasa (extra ordinary approach). Disamping cara-cara yang luar biasa juga harus dipilih sasaran tembak yang tepat, diantaranya memerangi instrument penting seperti memerangi mafia peradilan dan political corruption.
            Sebagai akhir dari tulisan ini, ditawarkan 10 tawaran solusi untuk pemberantasan korupsi secara terpadu; (1) Nyatakan perang jihad terhadap korupsi, (2) buat perpu anti korupsi dan mafia peradilan, (3) reformasi berfokus pada birokrasi dan peradilan baik secara aktif, persuasif dan represif, (4) fokus pada korupsi politik dan peradilan, (5) ekstensifikasi strategi bersifat preventif dan represif, (6) pendidikan anti korupsi,  (7)  kampanye dan gerakan-gerakan LSM, mahasiswa, media dan masyarakat (8)  strategi represif : quick wins and big fishes (koruptor kakap), amputasi pusat korupsi, lawan usaha fights back (melemahkan usaha anti korupsi), pertahan kan keluarbiasaan KPK dan Pengadilan Tipikor, (9) leadership  dan (10) Budaya : tidak ada kompromi terhadap korupsi (zerro tolerance to corrupt)..

Daftar Bacaan

Amin Rahayu , Sejarah Korupsi di Indonesia, Amanah No. 55, tahun XVIII, Oktober
            2004 hal 40 -43.

Catatan Akhir tahun ICW, 24 Januari 2007.

Freud Sigmund (1996). Psychoanalysis Theory, Prentice-hall.

Hidayati, Rahmatul (2001) . Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dari
     Masa Kolonial sampai Era Reformasi", Dinamika Hukum Universitas islam
            Malang : 7 (13) 2001, 20 -25.

Indrayana, Denny (2007). Makalah Seminar : Manajemen Penanggulangan dan Pengawasan Korupsi di Indonesia, MM-UTP palembang.

Koran Tempo, 13 Nop. 2006.

Schein H. Edgar (1996). Organizational Culture and Leadership, Jossey-Bass,

Transperancy International Indonesia (TII), Jakarta, 18 Oktober 2005. 

0 comments:

Post a Comment