Pemberantasan Pungli Terkesan Pencitraan dan Hanya Birokrasi Menengah Kebawah,

Monday, February 3, 2014

Gerakan Pemuda Indonesia Dalam Sejarah


Skenario Presiden Soekarno atau Bung Karno tentang performa fisik arsitektural Tugu Nasional sangat jelas untuk mencerminkan sebuah monumen yang mampu menceriterakan kebesaran sebuah bangsa. Secara gamblang tertulis sekalipun sulit diterjemahkan dalam kriteria sayembara terbuka perancangan Tugu Nasional pada tanggal 17 Februari 1955 dan Sayembara Ulangan pada 10 Mei 1956 yang menegaskan antara lain:
> Bentuk bangunan (arsitektur): adalah tugu, bertiga dimensi, menjulang tinggi
> Tugu tidak hanya sebagai benda mati (material) tetapi benda itu harus “hidup” (memiliki nilai spiritual)
> Tinggi tugu semula direncanakan 45m dan berkembang menjadi 137 m
> Sifat: nasional, sehingga disebut TUGU NASIONAL;
> Menggambarkan suasana masa lalu, sekarang dan akan datang
> Material Bangunan: besi beton, besi, dan marmer, yang tahan gempa
(tahan cakaran zaman sebagai monument)
> Merupakan simbol dari revolusi bangsa Indonesia, kepribadian Indonesia,
sifat dinamis bangsa  Indonesia, cita-cita bangsa Indonesia, menyalanya api
semangat patriotik bangsa, tingginya karya cipta bangsa, kebesaran dan
kejayaan bangsa.
> Usia Tugu : harus mampu berumur 1.000 tahun
Dengan spirit adegan tersebut, Tugu Nasional pada saat berdiri, yang tercipta adalah suasana yang membangkitkan semangat patriotisme bagi pemuda-pemuda Indonesia di masa depan. Pada kesempatan memberikan hadiah bagi pemenang sayembara Tugu Monas, Bung Karno sempat menyampaikan kembali gagasannya tentang konsep Tugu Monas menurut impian Bung Karno adalah: “untuk memberi kepada bangsa Indonesia secara visual material (visueel materieel) satu tanda kebesaran, tanda kebesaran kita sebagai bangsa, tanda kebesaran kita sebagai negara”, dengan demikian laras dengan skenario adegan Kehadiran sebuah Bangsa Besar, Bangsa Indonesia.
Pada kesempatan lain Bung Karno menyampaikan imaji tentang Tugu Nasional:  “Seluruh rakyat Indonesia jiwanya, hatinya, rohnya, kalbunya, harus menjulang ke langit laksana Tugu Nasional sekarang ini. Bahkan sepuluh kali, seratus kali, seribu kali tingginya Tugu Nasional.
Dalam dunia arsitektur yang berorientasi ke Timur terkandung keterpaduan holistik antara  makrokosmos dan mikrokosmos. Karya Arsitektur yang ditemukan di bumi nusantara yang lazim disebut tradisional atauvernacular dimanifestasikan sebagai setara dengan sosok manusia yang terdiri atas bagian kepala, badan, dan kaki. Dapat dimisalkan bagian sosok manusia pada sebuah rumah sebagai berikut:  bagian kepala adalah atap bangunan, terkadang dengan mahkota atap. Badan atau tubuh bangunan berupa dinding atau tembok, sedangkan kaki bangunan berupa ketinggian bangunan atau turap. Tugu Monas, sekalipun merupakan produk arsitektur modern karena mempergunakan teknologi bangunan tinggi (material beton, menggunakan lift dsb), tetapi memiliki konsep padu-padan atau sintesa antara arsitektur modern dengan bentuk lingga-yoni) dari budaya Jawa Kuno.
Bukti bahwa Tugu Monas dirancang menyerupai morfologis manusia, terlihat mulai dari kaki bangunan yang berupa basemen hingga ke bangunan di lantai dasar yang kokoh. Badan tugu berupa cerobong lift atau badan tugu itu sendiri yang berlapis marmer. Sedangkan kepala berupa cawan dan lidah api Monas. Lengkap sudah simbolik holistik arsitektur : kaki, badan, kepala dan mahkota.
Namun sayang, performa arsitektur Tugu Monas tidak seideal konsep perancangannya. Awalnya pada ke-empat sudut luar, tepat di atas Museum Sejarah direncanakan ada empat kelompok patung karya seniman Edhie Soenarso. Konsep awal berupa 4 (empat) adegan ‘banteng yang perkasa’ namun kemudian diubah menjadi patung realis dengan tema adegan khusus. Mengapa konsep ‘4 banteng’ yang akhirnya ‘4 patung diaroma’ telah dipilih oleh Bung Karno juga disebut sebagai bagian dari skenario simbolik. Kutipan tentang simbolisme ‘banteng’ sebagai simbol ke-Indonesiaan.

0 comments:

Post a Comment