Pemberantasan Pungli Terkesan Pencitraan dan Hanya Birokrasi Menengah Kebawah,

Friday, November 15, 2013

Prabuguru Darmasiksa


Dalam Carita Parahyangan diceritakan, Darmasiksa (ada juga yang menyebutnya Prabu Sanghyang Wisnu) memerintah selama 150 tahun. Ada pun Naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun, yakni tahun 1097 – 1219 Saka (1175 – 1297 M). Darmasiksa naik tahta setelah 16 tahun Prabu Jayabaya (1135 – 1159 M), penguasa Kediri-Jenggala tiada. Darmasiksa memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya Kerajaan Majapahit (1293 M).       
Menurut Pustaka Nusantara II/2, Prabuguru Darmasiksa pernah memberikan peupeujeuh (nasihat) kepada cucunya, yakni Wijaya, pendiri Majapahit, sebagai berikut: Haywa ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wu agheng jaya santosa wruh ngawang kottman ri puyut kalisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka mahaprabhu. Ika hana ta daksina sakeng Hyang Tunggal mwang dumadi seratanya. Ikang sayogyanya rajyaa Jawa rajya Sunda parasparopasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsong. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda duhkantara. Wilwatika sakopayanya maweh caranya: mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatika.       
Inti dari nasihatnya adalah menjelaskan tentang larangan untuk tidak menyerang Sunda karena mereka bersaudara. Jika masing-masing memerintah sesuai dengan haknya maka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna. Perihal Prabu Darmasiksa memberikan wejangan kepada Sanjaya, Carita Parahyangan (CP) pun membeberkan hal tersebut. Dalam CP—yang sebagian besar isinya menceritakan kepahlawanan Sanjaya, raja Sunda di Pakuan dan Galuh di Jawa Barat dan pendiri Mataram Kuno di Jawa Tengah (sama dengan Pararaton yang menceritakan sepak terjang Ken Angrok)—disebutkan bahwa Patih Galuh menasihati agar Rahiyang Sanjaya mematuhi Sanghyang Darmasiksa. Naskah ini memulai ceritanya dari alur Kerajaan Saunggalah I (Kuningan) yang diperkirakan telah ada pada awal abad 8 M. Secara politis, Saunggalah merupakan alternatif untuk menyelesaikan pembagian kekuasaan antara keturunan Wretikandayun, yaitu anak-anak Mandi Minyak dengan anak-anak Sempak Waja, Naskah ini menjelaskan sisi dan perkembangan keturunan Wretikandayun di luar Galuh.       
Dari naskah Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa, kita tahu bahwa nama Raja Saunggalah I bernama Resiguru Demunawan. Kedudukan sebagai penguasa di wilayah tersebut diberikan oleh ayahnya, yakni Sempak Waja, putra Wretikandayun pendiri Galuh. Resiguru Demunawan merupakan kakak kandung dari kakak kandung Purbasora, yang pernah menjadi raja di Galuh pada 716-732.       
Demunawan memiliki keistimewaan dari saudara-saudara lainnya, baik sekandung maupun dari seluruh keturunan Kendan. Sekali pun tidak pernah menguasai Galuh secara fisik, namun ia mampu memperoleh gelar resi guru, sebuah gelar yang tidak sembarangan bisa didapat, sekali pun oleh raja-raja terkenal, tanpa memilik sifat ksatria minandita. Bahkan pasca Tarumanagara, gelar ini hanya diperoleh Resiguru Manikmaya, pendiri Kendan, Resiguru Darmasiksa, dan Resiguru Niskala Wastu Kancana raja di Kawali. Seorang raja bergelar resiguru diyakini telah mampu membuat sebuah ajaran (pandangan hidup) yang dijadikan acuan kehidupan masyarakatnya.       
Prabuguru Darmasiksa pertama kali memerintah di Saunggalah I (persisnya di desa Ciherang, Kadugede, Kab. Kuningan), kemudian memindahkan ke Saunggalah 2, (Mangunreja, Tasikmalaya), selanjutnya menjadi raja Di Pakuan Pajajaran. Menurut teks Bujangga Manik (akhir abad ke- 15 atau awal abad ke-16), lokasi lahan tersebut terletak di daerah Tasik Selatan sebelah barat, bahkan kerajaan ini mampu mempertahankan kehadirannya setelah Pajajaran dan Galuh runtuh. Pada abad ke-18 nama kerajaan tersebut masih ada, namun setingkat kabupaten, dengan nama Kabupaten Galunggung, berpusat di Singaparna. Mungkin sebab inilah penduduk Kampung Naga Salawu di Tasik enggan menyebut Singaparna, tetap menyebut Galunggung untuk wilayah Singaparna.      

Kemudian Darmasiksa diangkat menjadi Raja Sunda di Pakuan), sedangkan Saunggalah diserahkan kepada putranya, yakni Ragasuci alias Sang Lumahing Taman.   
“Kesadaran Sejarah” Berbeda dengan Carita Parahyangan yang jelas menceritakan perjalanan pemerintahan raja-raja kuno di Jawa Barat, Amanat Galunggung ini membeberkan ajaran moral dan aturan sosial yang harus dipatuhi oleh urang Sunda. Namun, dalam naskah Amanat Galunggung ini terdapat baris-baris kalimat yang menyatakan pentingnya masa lalu sebagai “tunggak” (tonggak) atau “tunggul” untuk masa berikutnya, maka dari itu seyogyanya generasi kini harus tetap menghormati nilai-nilai yang diwarisi generasi sebelumnya.

Berikut petikan dan terjemaahannya:   

Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke
aya ma beuheula aya tu ayeuna
hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna
hana tunggak hana watang
tan hana tunggak tan hana watang
hana ma tunggulna aya tu catangna

 (Ada dahulu ada sekarang
bila tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang
karena ada masa silam maka ada masa kini
bila tidak ada masa silam tidak akan ada masa kini
ada tonggak tentu ada batang
bila tidak ada tonggak tidak akan ada batang
bila ada tunggulnya tentu ada catangnya)      
 

Bagi masyarakat Sunda Kuno juga Jawa dan etnis-etnis lain di Indonesia, terutama pada masa klasik (Hindu-Buddha) “kesadaran sejarah” bukanlah kesadaran seseorang atau pun sekelompok orang terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu di mana peristiwa-peristiwa tersebut harus ditentukan kebenarannya (secara ilmiah), melainkan kesadaran generasi mendatang terhadap nilai-nilai yang pernah ditanamkan oleh generasi sebelumnya. Hampir tak pernah ditemukan sebuah kronik sejarah kecuali Nagarakretagama karya Prapanca dalam bentuk pustaka di Indonesia yang memang bertujuan untuk mencatat peristiwa-persitiwa penting pada masanya beserta pencantuman tarikh-tarikhnya. Di Jawa Barat sendrir, kecuali Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan, naskah-naskah Sunda Kuno yang dihasilkan pada abad-abad ke-15 dan ke-16 hampir semua merupakan teks religius, pedoman moral, atau sejenis “sastra-jurnal” seperti Bujangga Manik. Memang dalam naskah-naskah pedoman moral itu dapat diketahui sejumlah aspek kehidupan sosial-ekonomi-budaya yang dapat dijadikan acuan sebagai “informasi sejarah”, namun hampir tak ada catatan-catatan mengenani peristiwa politik yang akan memuaskan para peniliti sejarah, kecuali peneliti filologi dan arkeologi.   

0 comments:

Post a Comment