Dalam Carita Parahyangan diceritakan,
Darmasiksa (ada juga yang menyebutnya Prabu Sanghyang Wisnu) memerintah selama
150 tahun. Ada pun Naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun, yakni tahun
1097 – 1219 Saka (1175 – 1297 M). Darmasiksa naik tahta setelah 16 tahun Prabu
Jayabaya (1135 – 1159 M), penguasa Kediri-Jenggala tiada. Darmasiksa memiliki
kesempatan menyaksikan lahirnya Kerajaan Majapahit (1293 M).
Menurut Pustaka Nusantara II/2, Prabuguru Darmasiksa
pernah memberikan peupeujeuh (nasihat) kepada cucunya, yakni
Wijaya, pendiri Majapahit, sebagai berikut: Haywa ta sira kedo
athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlaha
yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wu agheng jaya santosa wruh ngawang
kottman ri puyut kalisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka mahaprabhu. Ika hana
ta daksina sakeng Hyang Tunggal mwang dumadi
seratanya. Ikang sayogyanya
rajyaa Jawa rajya Sunda parasparopasarpana atuntunan tangan silih asih pantara
ning padulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsong. Yatanyan
siddha hitasukha. Yan rajya Sunda duhkantara. Wilwatika sakopayanya maweh
caranya: mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatika.
Inti dari nasihatnya
adalah menjelaskan tentang larangan untuk tidak menyerang Sunda karena mereka
bersaudara. Jika masing-masing memerintah sesuai dengan haknya maka akan
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna. Perihal Prabu Darmasiksa
memberikan wejangan kepada Sanjaya, Carita
Parahyangan (CP) pun
membeberkan hal tersebut. Dalam CP—yang
sebagian besar isinya menceritakan kepahlawanan Sanjaya, raja Sunda di Pakuan
dan Galuh di Jawa Barat dan pendiri Mataram Kuno di Jawa Tengah (sama dengan Pararaton yang menceritakan sepak
terjang Ken Angrok)—disebutkan bahwa Patih Galuh menasihati agar Rahiyang
Sanjaya mematuhi Sanghyang Darmasiksa. Naskah ini memulai ceritanya dari alur
Kerajaan Saunggalah I (Kuningan) yang diperkirakan telah ada pada awal abad 8
M. Secara politis, Saunggalah merupakan alternatif untuk menyelesaikan
pembagian kekuasaan antara keturunan Wretikandayun, yaitu anak-anak Mandi
Minyak dengan anak-anak Sempak Waja, Naskah ini menjelaskan sisi dan
perkembangan keturunan Wretikandayun di luar Galuh.
Dari naskah Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa, kita
tahu bahwa nama Raja Saunggalah I bernama Resiguru Demunawan. Kedudukan sebagai
penguasa di wilayah tersebut diberikan oleh ayahnya, yakni Sempak Waja, putra
Wretikandayun pendiri Galuh. Resiguru Demunawan merupakan kakak kandung dari
kakak kandung Purbasora, yang pernah menjadi raja di Galuh pada 716-732.
Demunawan memiliki
keistimewaan dari saudara-saudara lainnya, baik sekandung maupun dari seluruh
keturunan Kendan. Sekali pun tidak pernah menguasai Galuh secara fisik, namun
ia mampu memperoleh gelar resi guru,
sebuah gelar yang tidak sembarangan bisa didapat, sekali pun oleh raja-raja
terkenal, tanpa memilik sifat ksatria
minandita. Bahkan pasca Tarumanagara, gelar ini hanya diperoleh Resiguru
Manikmaya, pendiri Kendan, Resiguru Darmasiksa, dan Resiguru Niskala Wastu
Kancana raja di Kawali. Seorang raja bergelar resiguru diyakini telah mampu
membuat sebuah ajaran (pandangan hidup) yang dijadikan acuan kehidupan
masyarakatnya.
Prabuguru Darmasiksa
pertama kali memerintah di Saunggalah I (persisnya di desa Ciherang, Kadugede,
Kab. Kuningan), kemudian memindahkan ke Saunggalah 2, (Mangunreja,
Tasikmalaya), selanjutnya menjadi raja Di Pakuan Pajajaran. Menurut teks Bujangga Manik (akhir abad ke- 15 atau
awal abad ke-16), lokasi lahan tersebut terletak di daerah Tasik Selatan
sebelah barat, bahkan kerajaan ini mampu mempertahankan kehadirannya setelah
Pajajaran dan Galuh runtuh. Pada abad ke-18 nama kerajaan tersebut masih ada,
namun setingkat kabupaten, dengan nama Kabupaten Galunggung, berpusat di
Singaparna. Mungkin sebab inilah penduduk Kampung Naga Salawu di Tasik enggan
menyebut Singaparna, tetap menyebut Galunggung untuk wilayah Singaparna.
Kemudian Darmasiksa
diangkat menjadi Raja Sunda di Pakuan), sedangkan Saunggalah diserahkan kepada
putranya, yakni Ragasuci alias Sang Lumahing Taman.
“Kesadaran
Sejarah” Berbeda
dengan Carita
Parahyangan yang jelas menceritakan perjalanan pemerintahan raja-raja kuno
di Jawa Barat, Amanat
Galunggung ini membeberkan ajaran moral dan aturan sosial yang harus
dipatuhi oleh urang Sunda.
Namun, dalam naskah Amanat Galunggung ini terdapat baris-baris kalimat yang
menyatakan pentingnya masa lalu sebagai “tunggak”
(tonggak) atau “tunggul” untuk
masa berikutnya, maka dari itu seyogyanya generasi kini harus tetap menghormati
nilai-nilai yang diwarisi generasi sebelumnya.
Berikut petikan dan terjemaahannya:
Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke
aya ma beuheula aya tu ayeuna
hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna
hana tunggak hana watang
tan hana tunggak tan hana watang
hana ma tunggulna aya tu catangna
(Ada dahulu ada
sekarang
bila tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang
karena ada masa silam maka ada masa kini
bila tidak ada masa silam tidak akan ada masa kini
ada tonggak tentu ada batang
bila tidak ada tonggak tidak akan ada batang
bila ada tunggulnya tentu ada catangnya)
Bagi masyarakat Sunda
Kuno juga Jawa dan etnis-etnis lain di Indonesia, terutama pada masa klasik
(Hindu-Buddha) “kesadaran sejarah” bukanlah kesadaran seseorang atau pun
sekelompok orang terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu di mana
peristiwa-peristiwa tersebut harus ditentukan kebenarannya (secara ilmiah),
melainkan kesadaran generasi mendatang terhadap nilai-nilai yang pernah
ditanamkan oleh generasi sebelumnya. Hampir tak pernah ditemukan sebuah kronik
sejarah kecuali Nagarakretagama karya Prapanca dalam bentuk
pustaka di Indonesia yang memang bertujuan untuk mencatat peristiwa-persitiwa
penting pada masanya beserta pencantuman tarikh-tarikhnya. Di Jawa Barat
sendrir, kecuali Fragmen Carita Parahyangan dan Carita
Parahyangan, naskah-naskah Sunda Kuno yang dihasilkan pada abad-abad ke-15
dan ke-16 hampir semua merupakan teks religius, pedoman moral, atau sejenis
“sastra-jurnal” seperti Bujangga Manik. Memang dalam naskah-naskah
pedoman moral itu dapat diketahui sejumlah aspek kehidupan
sosial-ekonomi-budaya yang dapat dijadikan acuan sebagai “informasi sejarah”,
namun hampir tak ada catatan-catatan mengenani peristiwa politik yang akan
memuaskan para peniliti sejarah, kecuali peneliti filologi dan arkeologi.
0 comments:
Post a Comment