Hampir di semua rumah tangga, sekarang menggunakan gas LPG untuk memasak. Minyak tanah sudah jarang kita temui. Kebijakan konversi dari minyak tanah ke tabung LPG ini dimulai tahun 2006 yang dikomandoi oleh Wapres Jusuf Kalla. Saat itu harga minyak mentah dunia sudah mencapai USD 147/barel. Subsidi Minyak membengkak sampai Rp.25 triliun.
Sejak dilakukan konversi tersebut, kebutuhan akan LPG semakin lama semakin meningkat. Tahun 2013 kebutuhannya sudah mencapai sekitar 5 juta ton sebagai bahan bakar industri, perhotelan, rumah sakit, apartemen, restoran, pedagang kaki lima, dan rumah tangga. Sebenarnya menggunakan LPG lebih menguntungkan, walaupun sebenarnya selisih untungnya relatif kecil saja. Sementara harga LPG meningkat terus. Saat ini kebutuhan LPG 5 juta ton pertahun, produksi LPG dalam negeri hanya 2 juta ton per tahun, 3 juta ton harus impor.
Investasi untuk tabung LPG ini tidak sedikit. Pemerintah harus menyediakan paling tidak 140 juta tabung berikut aksesorisnya, membangun infrastruktur seperti terminal penampung, kapal penampung LPG beserta depo nya. Di berbagai negara, LPG sering digunakan untuk bahan baku petrokimia, plastik, nilon tekstil, cat, dll. Menurut saya, seharusnya pemerintah melakukan konversi energi dari minyak tanah ke gas alam, yang jauh lebih murah, ketimbang menggunakan LPG.
Jika pemerintah memilih untuk menggunakan gas alam, Pertamina dan PGN harus membangun infrastruktur gas untuk pendistribusian ke rumah tangga, perhotelan, kawasan industri, dsb. Pemerintah tidak perlu memberi subsidi untuk LPG lagi. Gas alam itu jauh lebih murah dari LPG dan ketersediaannya berlimpah di negeri ini.
Kebijakan pengelolaan migas oleh Pemerintah dinilai sebagian kalangan sebagai kebiijakan yang salah kaprah. Indonesia yang kaya akan gas alam, tapi tidak bisa memaksimalkan kekayaannya untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya.
Maka jika tidak mau Indonesia terkena krisis energi yang akan berpengaruh kepada emak-emak dapur, kebijakan konversi minyak tanah ke LPG harus ditinjau kembali, Jusuf Kalla sebagai penggagas konversi LPG ini harus ditarik kembali ke dalam pemerintahan, karena sampai saat ini tidak ada pejabat yang berani ambil keputusan besar seperti Jusuf Kalla. Presiden SBY pun tidak.
Sumber: ekonomi.kompasiana.com
0 comments:
Post a Comment