Sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat sekarang ini
telah banyak pengalaman yang diperoleh
bangsa kita tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam negara
Republik Indonesia ,
pedoman acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah nilai-nilai dan
norma-norma yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
sebagai sumber dan disain bagi terbentuknya kebudayaan nasional.
Namun kita juga telah melihat bahwa, khususnya dalam lima tahun terakhir, telah
terjadi krisis pemerintahan dan tuntutan reformasi (tanpa platform yang jelas)
yang menimbulkan berbagai ketidakmenentuan dan kekacauan. Acuan kehidupan
bernegara (governance) dan kerukunan sosial (social harmony) menjadi berantakan
dan menumbuhkan ketidakpatuhan sosial (social disobedience). Dari sinilah
berawal tindakan-tindakan anarkis, pelanggaran-pelanggaran moral dan etika,
tentu pula tak terkecuali pelanggaran hukum dan meningkatnya kriminalitas. Di
kala hal ini berkepanjangan dan tidak jelas
kapan saatnya krisis ini akan berakhir, para pengamat hanya bisa
mengatakan bahwa bangsa kita adalah “bangsa yang sedang sakit”, suatu
kesimpulan yang tidak pula menawarkan solusi.
Timbul
pertanyaan: mengapa bangsa kita dicemooh oleh bangsa lain? Mengapa pula ada
sejumlah orang Indonesia
yang tanpa canggung dan tanpa merasa risi dengan mudah berkata, “Saya malu
menjadi orang Indonesia ” dan
bukannya secara Negara menantang dan mengatakan, “Saya siap untuk mengangkat Indonesia
dari keterpurukan ini”? Mengapa pula wakil-wakil rakyat dan para pemimpin
malahan saling tuding sehingga menjadi bahan olok-olok orang banyak? Mengapa
pula banyak orang, termasuk kaum intelektual, kemudian menganggap Pancasila
harus “disingkirkan” sebagai dasar Negara? Kaum intelektual yang sama di masa
lalu adalah penatar gigih, bahkan “manggala” dalam pelaksanaan Penataran P-4.
Pancasila adalah “asas bersama” bagi bangsa ini (bukan “asas tunggal”). Di
samping itu, makin banyak orang yang kecewa berat terhadap, bahkan menolak,
perubahan UUD 1945 (lebih dari sekedar amandemen) sehingga
perannya sebagai pedoman dan acuan kehidupan berbangsa dan bernegara
dapat diibaratkan sebagai menjadi lumpuh.
Perjalanan
panjang Negara enam dasawarsa kemerdekaan Indonesia telah memberikan banyak
pengalaman kepada warganegara tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Nation
and character building sebagai cita-cita membentuk kebudayaan nasional belum
dilandasi oleh suatu strategi budaya yang nyata (padahal ini merupakan konsekuensi dari dicetuskannya Proklamasi
Kemerdekaan sebagai “de hoogste politieke beslissing” dan diterimanya Pancasila
sebagai dasar Negara dan UUD 1945 sebagai dasar Negara)
0 comments:
Post a Comment