SEJARAH KONFLIK PALESTINA – ISRAEL
Konflik antara Palestina dan
Israel merupakan sebuah fenomena modern yang sudah mulai pecah sejak abad XX.
Meskipun kedua pihak yang bertikai berbeda agama, namun perbedaan agama itu
bukan menjadi penyebab konflik. Pada dasarnya, konflik di kawasan itu adalah
menyangkut soal wilayah, soal tanah. Kaum Yahudi selalu mengklaim tanah yang
sekarang diperebutkan ini berdasarkan pada janji yang ada dalam kitab suci
kepada Abraham dan para keturunannya. Padahal, kalau Arab mengajukan
argumen-argumen biblis, mereka juga adalah keturunan Abraham. Oleh karena itu,
mereka berhak pula atas tanah tersebut.
Sejarah memaparkan, sekitar 3000
tahun sebelum Masehi (SM), apa yang sekarang disebut tanah Palestina itu pada
awalnya hanya dikenal sebagai tanah Kanaan. Disebut demikian karena suku Kanaan
merupakan suku yang paling dominan di wilayah itu. Dominasi itu sedikit
berkurang ketika antara tahun 1900 sampai 1700 SM, wilayah Kanaan itu mulai
dimasuki kaum imigran Semit dari wilayah Mesopotamia (kini Irak). Di Kanaan
itu, para imigran itu kemudian dikenal sebagai kelompok Ivrim (=Hibrani), yang
artinya “keturunan Ever” nenek moyang Abraham. Baru kemudian, mungkin guna
meningkatkan harga diri mereka, kaum Ivrim itu menyebut diri mereka Israel,
yang artinya kurang lebih adalah “dia yang sudah bergulat melawan Tuhan”.
Diperkirakan, Hyksos, keturunan
Semit dari Suriah, sekitar tahun 1650 SM menguasai delta sungai Nil dan
mendesak raja pribumi Mesir, Thebes, ke pedalaman. Namun, sekitar tahun 1570
SM, sebuah revolusi kaum pribumi di bawah pimpinan keturunan Thebes berhasil
menjatuhkan kekuasaan nonpribumi Hyksos. Sejarah kaum nonpri Semit di Mesir
menjadi sejarah penderitaan. Puncaknya terjadi di zaman militerisme Fir’aun
Rameses II (1220-1165). Akhirnya muncullah sebutan “apiru” atau kaum
pengungsi-gelandangan bagi kelompok Israel itu. Ungkapan “apiru” itu dianggap
sebagai asal usul nama Hibrani. Musa, salah seorang pemimpin apiru Semit itu,
kemudian menjadi penyelamat dengan membawa para nonpri itu pulang ke tanah
semula di Kanaan, yang diyakini sebagai “Tanah Terjanji”. Diperkirakan, mereka
kembali ke Kanaan sekitar tahun 1200 SM.
Bersamaan dengan masuknya
“apiru” ke Kanaan itu, datang pula sebuah invasi besar dari “bangsa-bangsa
laut”. Diperkirakan mereka berasal dari Pulau Kreta di Laut Tengah. Ada empat
suku di antara “bangsa-bangsa laut” itu, yaitu suku Filistin, suku Edom, suku
Moab, dan suku Ammon. Kaum Filistin segera menduduki wilayah pantai barat daya
Kanaan, yang kini dikenal dengan Jalur Gaza. Karena wilayah pantai dikuasai
oleh suku laut Filistin, maka para penguasa Yunani kemudian menyebut seluruh
wilayah di “belakang” nya sebagai Palaistina, yang merupakan sebuah lafal
Yunani dari kata Hibrani Pleshet (Tanah Suku Filistin). Sebutan itu dipakai
juga oleh penguasa Romawi yang menggantikan Yunani, dan bahkan dihidupkan
kembali sesudah Perang Dunia I guna menyebut wilayah bekas Kanaan itu.
Hingga tahun 1948, wilayah yang
diklaim oleh kedua belah pihak (Palestina dan Israel), secara internasional
dikenal sebagai Palestina. Akan tetapi, setelah pecah perang tahun 1948-1949,
wilayah itu dibagi menjadi tiga bagian: negara Israel, Tepi Barat, dan Jalur
Gaza. Sejak itu perang terus terjadi. Keinginan untuk saling mengalahkan dan
menghancurkan mulai memuncak sejak awal abad ke-20. Gerakan Zionisme telah
menggerakkan orang-orang Yahudi kembali ke tanah Palestina. Semula kaum Zionis
membeli tanah milik Arab-Palestina dan membentuk kantung-kantung permukiman.
Akan tetapi, lama kelamaan,
gerakan Zionisme memperlihatkan watak imperialis dan rasis. Apalagi telah
berkembang doktrin, setiap orang Yahudi harus mendapat hak atas tanah,
sekurang-kurangnya tempat membaringkan kepala (rumah tinggal), di tanah
Terjanji, Lokasi tanah Terjanji dipersepsikan Israel terletak di tanah
Palestina dan sekitarnya. Arus migrasi kaum Zionis yang begitu besar, telah
melahirkan semangat ekspansionisme seperti terlihat pada kasus pendudukan Tepi
Barat, Jalur Gaza, Dataran Tinggi Golan, dan sempat juga Sinai. Kehadiran kaum
Zionis yang begitu besar, mengakibatkan masyarakat Arab-Palestina terdesak.
Seiring dengan perluasan
penguasaan tanah oleh kaum Zionis, timbul kesadaran dan sikap dikalangan
masyarakat Arab-Palestina bahwa Israel tidak mempunyai hak atas wilayah Tanah
Palestina. Meski agak terlambat, masyarakat Arab-Palestina bertekad keras
membendung ekspansi wialayah kaum Zionis. Tekanan dan penolakan yang begitu
keras masyarakat Arab-Palestina, membuat Israel dan penjajah Inggris menjadi
cemas mendalam. Inggris bahkan sempat membujuk dan menawarkan kepada kaum
Zionis untuk membangun negara Yahudi di Afrika Selatan, yang kebetulan juga
koloni Inggris. Tetapi, tawaran itu ditolak.
Dengan demikian, tidak bisa lain, kaum Zionis harus berhadapan dengan gerakan penolakan Arab-Palestina. Timbul semacam perasaan ternacam di kalangan kaum Zionis, jika sampai dikalahkan, pasti bangsa Yahudi akan dilempar ke laut. Keyakinan itu terus-menerus ditiup-tiupkan, yang melahirkan watak keganasan dan kekejaman di kalangan bangsa Yahudi di negara Israel.Semangat permusuhan terus berkobar karena Israel menghalang-halangi pendirian negara Palestina Merdeka. Wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza yang merupakan tanah air bangsa Palestina diduduki sejak tahun 1967. Sedangkan Israel sendiri sudah memproklamirkan negara merdeka tahun 1948.
Selama hak Palestina sebagai
sebuah bangsa tidak ditegakkan, dipastikan tidak akan ada perdamaian,
ketenteraman, dan keamanan di Timur Tengah. Sudah terbukti, tidak ada satu pun
kekuatan yang mampu membungkam dan melenyapkan aspirasi perjuangan bangsa
Palestina, meski Israel sudah berusaha menghancurkannya.
Berbagai kalangan mencemaskan situasi Timur Tengah menjadi runyam, jika kekerasan terus mengalamai eskalasi. Presiden Palestina Yasser Arafat sendiri dan para pengawalnya memilik bertahan dan siap mati di dalam markas di Ramallah, yang terus dihujani gempuran mortir pasukan Israel. Arafat sebagai kepala negara benar-benar dipermalukan oleh Israel. Sejak dua tahun lalu, Arafat dikenai tahanan kota di Ramallah karena dianggap gagal menghentikan gerakan intifadah dan aksi jibaku, yang dilakukan warga Palestina. Kezaliman Israel itu justru menimbulkan simpati orang terhadap Arafat dan perjuangannya. Sebaliknya Israel dikecam dan dicerca karena memperlihatkan keangkuhan terhadap masyarakat Palestina, yang sesungguhnya sudah tidak berdaya. Meski pertikaian kadang-kadang berlangsung tidak seimbang, tapi semakin kelihatan pula Israel menjadi panik dan frustrasi atas perlawanan bangsa Palestina yang pantang kendur.
Sudah menjadi pola, setiap
serangan Israel akan mendapat pembalasan
Palestina, dan sebaliknya. Kekerasan
di Timur Tengah sangat bersifat dialektis dan siklis. Kekerasan menghasilkan kekerasan,
sehingga mata rantai kekerasan bertambah dari waktu ke waktu. Israel
benar-benar mulai kewalahan menghadapi metode jibaku yang dilancarkan warga
Palestina. Sampai sekarang belum ditemukan cara efektif untuk mengantisipasi
serangan bom bunuh diri warga Palestina. Aksi jibaku tidak lagi hanya dilakukan
kaum pria, tapi mulai dilancarkan pula oleh kaum perempuan muda.
Serangan bunuh diri jelas
mengerikan. Tetapi, rasa putus asa yang mendalam, membuat rasa ngeri seolah
menjadi nisbi. Warga Palestina menggunakan aksi jibaku sebagai senjata terakhir
melawan keganasan Israel. Kaum muda Palestina tidak lagi menggunakan truk atau
kendaraan lain untuk melancarkan serangan bunuh diri. Penggunaan kendaraan
gampang dideteksi dan diantisipasi aparat Israel. Maka belakangan ini, kaum
muda Palestina cenderung “memasang badan” dengan menggendong bahan peledak.
Satu serangan jibaku bisa menewaskan puluhan orang. Secara matematis, satu
warga Palestina yang tewas melakukan jibaku akan menewaskan sedikitnya satu
warga Israel. Jika gelombang aksi jibaku mengganas, warga Israel secara
sistematis akan terus berkurang. Namun, akan sampai kapan aksi jibaku ini
berlangsung? Wallahu’alam.***
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17 2004
0 comments:
Post a Comment